'/> Keutamaan Bulan Rajab, Sya'ban Dan Ramadhan

Info Populer 2022

Keutamaan Bulan Rajab, Sya'ban Dan Ramadhan

Keutamaan Bulan Rajab, Sya'ban Dan Ramadhan
Keutamaan Bulan Rajab, Sya'ban Dan Ramadhan

KEUTAMAAN BULAN RAJAB, SYA'BAN & RAMADHAN

Bulan Rajab ialah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksudnya, dikala itu insan dihentikan (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak. [1]



Allah Ta’ala berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

“Hai orang-orang yang memberikanman, janganlah kau melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram …” (QS. Al Maidah (95): 2)

Ayat mulia ini membuktikan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) ialah dzul qa’dah, dzul hijjah, rajab, dan muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان”.

“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal ialah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)

Dinamakan Rajab lantaran itu ialah bulan untuk yarjubu, yakni Ya’zhumu (mengagungkan), sebagaimana dikatakan Al Ashmu’i, Al Mufadhdhal, dan Al Farra’. (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif, Hal. 117. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Banyak insan meyakini bulan Rajab sebagai bulan untuk memperbanyak ibadah, menyerupai shalat, puasa, dan menyembelih hewan dan makhluk hidup untuk disedekahkan. Tetapi, kudang kecepeasaan ini nampaknya tidak didukung oleh sumber yang shahih. Para ulama hadits telah melaksanakan penelitian mendalam, bahwa tidak satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan shalat khusus, puasa, dan ibadah lainnya pada bulan Rajab, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi. Benar, bulan Rajab ialah bulan yang agung dan mulia, tetapi kita tidak mendapat hadits shahih wacana rincian amalan khusus pada bulan Rajab. Wallahu A’lam

Sebagai contoh:

“Sesungguhnya di nirwana ada sungai berjulukan Rajab, airnya ludang kecepeh putih dari susu dan rasanya ludang kecepeh manis dari madu. Barangsiapa yang berpuasa Rajab satu hari saja, maka Allah akan memmemberikankannya minum dari sungai itu.” (Status hadits: BATIL. Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 1898)

“ Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak: awal malam pada bulan Rajab, malam nishfu sya’ban, malam Jumat, malam idul fitri, dan malam hari raya qurban.” (Status hadits: Maudhu’ (artifasial dan bohongan). As Silsilah Adh Dhaifah No. 1452)

“Rajab ialah bulannya Allah, Sya’ban ialah bulanku, dan Ramadhan ialah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)

“Dinamakan Rajab lantaran di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (artifasial dan bohongan). As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)

Dan masih banyak lagi yang lainnya, menyerupai shalat raghaib (12 rakaat) pada hari kamis ba’da maghrib di bulan Rajab (Ini ada dalam kitab Ihya Ulumuddin-nya Imam Al Ghazali. Segenap ulama menyerupai Imam An Nawawi menyampaikan ini ialah bid’ah yang jelek dan munkar, juga Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Nuhas, dan lainnya menyampaikan hal serupa).

Walau demikian, tidak berarti kelemahan tiruana riwayat ini memperlihatkan larangan ibadah-ibadah secara global. Melakukan puasa, sedekah, memotong hewan dan makhluk hidup untuk sedekah, dan amal shalih lainnya ialah perbuatan mulia, kapan pun dilaksanakannya termasuk bulan Rajab (kecuali puasa pada hari-hari terlarang puasa).

Tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, menyerupai puasa senin kamis dan ayyamul bidh (tanggal 13,14,15 bulan hijriah), alasannya ini tiruana mempunyai perintah secara umum dalam syariat. Tidak mengapa sekedar memotong hewan dan makhluk hidup untuk disedekahkan, yang keliru ialah meyakini dan MENGKHUSUSKAN ibadah-ibadah ini dengan fadhilah tertentu yang hanya bisa diraih di bulan Rajab, dan tidak pada bulan lainnya. Jika menyerupai ini, maka membutuhkan pendapat shahih yang khusus, baik Al Alquran atau As Sunnah.

Sementara itu, mengkhususkan menyembelih hewan dan makhluk hidup (istilahnya Al ‘Atirah) pada bulan Rajab, telah terjadi perbedaan pendapat di dalam Islam. Imam Ibnu Sirin menyampaikan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk Bashrah, juga Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang dikutip oleh Hambal. Tetapi secara umum dikuasai ulama menyampaikan bahwa hal itu ialah kudang kecepeasaan jahiliyah yang telah dihapuskan oleh Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits shahih: “Tidak ada Al Fara’ dan Al ‘Atirah.” (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif Hal. 117)

Namun, kalau sekedar ingin menyembelih hewan dan makhluk hidup pada bulan Rajab, tanpa mengkhususkan dengan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa dilakukan. Karena Imam An Nasa’i meriwayatkan, bahwa para sobat berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, berlalu dan silam knorma dan watak jahiliyah kami biasa menyembelih pada bulan Rajab?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اذبحوا لله في أي شهر كان

“Menyembelihlah lantaran Allah, pada bulan apa saja.” (HR. An Nasa’i, hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/208)

Benarkah Isra Mi’raj Terjadi Tanggal 27 Rajab?

Ada pun wacana Isra’ Mi’raj, benarkah insiden ini terjadi pada bulan Rajab? Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab: Wallahu A’lam. Sebab, tidak ada janji para ulama hadits dan para sejarawan muslim wacana kapan insiden ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243) 

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa insiden Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya menyampaikan itu terjadi pada Rabi’ul Awal. (Ibid Hal. 95).

Beliau juga berkata:

و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره

“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi insiden agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang menyampaikan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa insiden Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam) 

Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu ialah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan insiden Isra’ Mi’raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan tiruana riwayat wacana ini terputus dan berbeda-beda.

Adakah Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya’ban dan Ramadhan?

Tidak ditemukan riwayat yang shahih wacana ini. Ada pun doa yang tenar diucapkan insan yakni: Allahumma Bariklana fi rajaba wa sya’ban, wa ballighna ramadhan, ialah hadits dhaifi (lemah).

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kalau masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.” (Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban wa Berkahilah kami di bulan Ramadhan). (HR. Ahmad, No. 2228. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3654)

Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah Al Mashabih, No. 1369). Apa yang mengakibatkan kelemahan riwayat hadits ini? Jawabnya silahkan lihat di catatan kaki.[2]

2. Bulan Sya’ban dan Keutamaannya

Bulan Sya’ban ialah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih memberikankut:

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول لا يفطر، ويفطر حتى نقول لا يصوم، فما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر إلا رمضان، وما رأيته أكثر صياما منه في شعبان.

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa sehingga kami menyampaikan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka hingga kami menyampaikan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyempurnakan puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa meludang kecepehi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1868)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga, katanya:

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah berpuasa dalam satu bulan meludang kecepehi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1869)



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

شعبان بين رجب ورمضان يغفل الناس عنه ترفع فيه أعمال العباد فأحب أن لا يرفع عملي إلا وأنا صائم

“Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak insan yang melalaikannya. Saat itu amal insan diangkat, maka saya suka kalau amalku diangkat knorma dan watak saya sedang puasa.” (HR. An Nasai, 1/322 dalam kitab Al Amali. Status hadits: Hasan (baik). Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1898. Lihat juga Tamamul Minnah Hal. 412. DarAr Rayyah)

Adakah Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban?

Ya, sebagamana diriwayatkan oleh banyak sobat nabi, bahwa Beliau bersabda:

يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه
إلا لمشرك أو مشاحن

“Allah Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini Shahih berdasarkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Diriwayatkan oleh banyak sobat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat kitab As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami. Namun, dalam kitab Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang benar ialah shahih lantaran banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)

Hadits ini memperlihatkan keutamaan malam nishfu sya’ban (malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni dikala itu Allah mengampuni tiruana makhluk kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki. Maka masuk akal banyak kaum muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca Al Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in.. Tetapi, dalam hadits ini –juga hadits lainnya- sama sekali tidak disebut adanya ibadah khusus tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al Quran, atau lainnya. Oleh, lantaran itu, masuk akal pula sebagian kaum muslimin menganggap itu ialah hal yang bid’ah (mengada-ngada dalam agama). Sebenarnya membaca Al Quran, Shalat malam, memperbanyak zikir pada malam nishfu sya’ban ialah perbuatan baik, dan merupakan pengamalan dari hadits di atas, namun yang menjadi ajang perdebatan ialah wacana ‘cara’nya, apakah beramai-ramai ke masjid kemudian di buat paket program secara khusus, atau melakukannya secara sendirian baik di rumah atau masjid dengan program yang tidak baku dan tidak terikat.

Berikut ialah Fatwa Para ulama wacana program ritual Nishfu Sya’ban:

1. Imam An Nawawi (bermadzhab syafi’i)

Beliau Rahimahullah memmemberikankan komentar wacana mengkhususkan shalat pada malam nishfu sya’ban, sebagai memberikankut:

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل



“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini ialah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh lantaran keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub[3] dan Ihya Ulumuddin[4], dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka tiruananya ialah batil.” Demikian komentar Imam An Nawawi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/379. Dar ‘Alim Al Kitab)

2. Syaikh ‘Athiyah Saqr (Mufti Mesir)

Beliau Rahimahullah ditanya apakah ada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan program khusus pada malam nishfu sya’ban?

Beliau mentpendapat (saya kutip secara ringkas):

ثبت أن الرسول عليه الصلاة والسلام احتفل بشهر شعبان ، وكان احتفاله بالصوم ، أما قيام الليل فالرسول عليه الصلاة والسلام كان كثير القيام بالليل فى كل الشهر، وقيامه ليلة النصف كقيامه قى أية ليلة .

ويؤيد ذلك ما ورد من الأحاديث السابقة وإن كانت ضعيفة فيؤخذ بها فى فضائل الأعمال ، فقد أمر بقيامها ، وقام هو بالفعل على النحو الذى ذكرته عائشة .

وكان هذا الاحتفال شخصيا، يعنى لم يكن فى جماعة ، والصورة التى يحتفل بها الناس اليوم لم تكن فى أيامه ولا فى أيام الصحابة ، ولكن حدثت فى عهد التابعين . يذكر القسطلانى فى كتابه “المواهب اللدنية”ج 2 ص 259 أن التابعين من أهل الشام كخالد بن معدان ومكحول كانوا يجتهدون ليلة النصف من شعبان فى العبادة ، وعنهم أخذ الناس تعظيمها ، ويقال أنهم بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية . فلما اشتهر ذلك عنهم اختلف الناس ، فمنهم من قبله منهم ، وقد أنكر ذلك أكثر العلماء من أهل الحجاز، منهم عطاء وابن أبى مليكة، ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة ، وهو قول أصحاب مالك وغيرهم ، وقالوا : ذلك كله بدعة، ثم يقول القسطلانى :

اختلف علماء أهل الشام فى صفة إحيائها على قولين ، أحدهما أنه يستحب إحياؤها جماعة فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى مسائله . والثانى أنه يكره الاجتماع فى المساجد للصلاة والقصص والدعاء ، ولا يكره أن يصلى الرجل فيها لخاصة نفسه ، وهذا قول الأوزاعى إمام أهل الشام وفقيههم وعالمهم .


 “Telah niscaya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ia melaksanakan acara pada bulan Sya’ban yakni berpuasa. Sedangkan qiyamul lail-nya banyak ia lakukan pada setiap bulan, dan qiyamul lailnya pada malam nisfhu sya’ban sama halnya dengan qiyamul lail pada malam lain. Hal ini didukung oleh hadits-hadits yang telah saya sampaikan sebelumnya, kalau hadits tersebut dhaif maka beropini dengannya boleh untuk tema fadhailul ‘amal (keutamaan amal shalih), dan qiyamul lailnya ia sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah yang telah saya sebutkan. Aktifitas yang dilakukannya ialah aktifitas perorangan, bukan berjamaah. Sedangkan aktifitas yang dilakukan insan dikala ini, tidak pernah ada pada masa Rasulullah, tidak pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi pada masa tabi’in.



Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal. 259), bahwa tabi’in dari negeri Syam menyerupai Khalid bin Mi’dan, dan Mak-hul, mereka memberikanjtihad untuk memberikanbadah pada malam nishfu sya’ban. Dari merekalah insan beralasan untuk memuliakan malam nishfu sya’ban. Diceritakan bahwa telah hingga kepada mereka atsar israiliyat [5] wacana hal ini. Knorma dan watak hal tersebut tersiarkan, maka insan pun berselisih pendapat, maka di antara mereka ada yang mengikutinya. Namun perbuatan ini diingkari oleh secara umum dikuasai ulama di Hijaz menyerupai Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga menolaknya, yakni para sobat Imam Malik dan selain mereka, kemudian mereka mengatakan: “Semua itu bid’ah!”



Kemudian Al Qasthalani berkata: “Ulama penduduk Syam[6] berbeda pendapat wacana aturan menghidupkan malam nishfu sya’ban menjadi dua pendapat: Pertama, dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid., Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus, menggunakan wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata wacana shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb Al Karmani knorma dan watak dia bertanya kepadanya wacana ini. Kedua, bahwa dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan berdoa pada malam itu, namun tidak mengapa kalau seseorang shalatnya sendiri saja. Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (sangat menguasai fiqih)-nya mereka dan ulamanya mereka.” Selesai kutipan dari Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah. (Fatawa Al Azhar, Juz. 10, Hal. 131. Syamilah)

3. Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah

Beliau menjelaskan wacana aturan mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:

ومن البدع التي أحدثها بعض الناس: بدعة الاحتفال بليلة النصف من شعبان، وتخصيص يومها بالصيام، وليس على ذلك دليل يجوز الاعتماد عليه، وقد ورد في فضلها أحاديث ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها، أما ما ورد في فضل الصلاة فيها فكله موضوع، كما نبه على ذلك كثير من أهل العلم، وسيأتي ذكر بعض كلامهم إن شاء الله. وورد فيها أيضًا آثار عن بعض السلف من أهل الشام وغيرهم. والذي عليه جمهور العلماء: أن الاحتفال بها بدعة، وأن الأحاديث الواردة في فضلها كلها ضعيفة وبعضها موضوع، وممن نبه على ذلك الحافظ ابن رجب في كتابه [لطائف المعارف] وغيره، والأحاديث الضعيفة إنما يعمل بها في العبادات التي قد ثبت أصلها بأدلة صحيحة، أما الاحتفال بليلة النصف من شعبان فليس له أصل صحيح حتى يستأنس له بالأحاديث الضعيفة.



“Dan di antara bid’ah yang di ada-adakan insan pada malam tersebut adalah: bid’ahnya mengadakan program pada malam nishfu sya’ban, dan mengkhususkan siang harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada dasarnya yang bisa dijadikan pegangan untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang meriwayatkan wacana keutamaannya ialah dha’if dan tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan, sedangkan hadits-hadits wacana keutamaan shalat pada malam tersebut, tiruananya ialah maudhu’ (artifasial dan bohongan), sebagaimana yang dimemberikantakan oleh kebanyakan ulama wacana itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian ucapan mereka, dan juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam dan selain mereka. Jumhur (mayoritas) ulama berkata: bergotong-royong program pada malam itu ialah bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita wacana keutamaannya ialah dha’if dan sebagiannya ialah artifasial dan bohongan. Di antara ulama yang memmemberikantakan hal itu ialah Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya. Ada pun hadits-hadits dha’if hanyalah bisa diamalkan dalam kasus ibadah, kalau ibadah tersebut telah ditetapkan oleh pendapat-pendapat yang shahih, sedangkan program pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih, melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.” (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 4/281) Sekian kutipan dari Syaikh Ibnu Baz.

Larangan Pada Bulan Sya’ban

Pada bulan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada yaumusy syak (hari meragukan), yakni sehari atau dua hari menjelang Ramadhan. Maksud hari mencurigai ialah lantaran pada hari tersebut merupakan hari di mana insan sedang memastikan, apakah sudah masuk 1 Ramadhan atau belum, apakah dikala itu Sya’ban 29 hari atau digenapkan 30 hari, sehingga berpuasa sunah dikala itu amat beresiko, yakni kalau ternyata sudah masuk waktu Ramadhan, ternyata dia sedang puasa sunah. Tentunya ini menjadi masalah.

Dalilnya, dari ‘Ammar katanya:

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza Ra’aytumuhu fa shuumuu)

Para ulama mengatakan, larangan ini ialah bagi orang yang mengkhususkan berpuasa pada yaumusy syak saja. Tetapi bagi orang yang terbiasa berpuasa, misal puasa senin kamis, puasa Nabi Daud, dan puasa sunah lainnya, kemudian dia melaksanakan itu bertepatan pada yaumusy syak , maka hal ini tidak dihentikan berdasarkan riwayat hadits memberikankut:

لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah salah seorang kalian menberlalu dan silamkan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kudang kecepeasaannya, maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No. 1815)

4. Bulan Ramadhan dan Keutamaannya

Ini ialah bulan agung yang pling banyak ditunggu oleh seluruh umat Islam. Banyak keutamaan yang diterangkan dalam Al Alquran dan As Sunah wacana bulan ini. Sebagaian di antaranya:

-Bulan diturunkannya Al Quran

Allah Ta’ala berfirman:

”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Alquran sebagai petunjuk bagi insan dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS. Al Baqarah (2): 185)

-Bulan Terdapat Lailatul Qadar (malam kemuliaan)

Allah Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan, dan tahukah kau Apakah malam kemuliaan itu? malam kemuliaan itu ludang kecepeh baik dari seribu bulan. (QS. Al Qadr (97) : 1-3)

- Shalat pada malam Lailatul Qadar menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه

”Barang siapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar lantaran iman dan ihtisab (mendekatkan diri kepada Allah) , maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 35, 38, 1802)

- Shalat malam (tarawih) Pada Bulan Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

”Barang siapa yang shalat malam pada Ramadhan lantaran iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37 1904, 1905)

- Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه 

”Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan lantaran iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802)

Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ ialah dosa-dosa kecil, alasannya dosa-dosa besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah artifasial dan bohongan, dan lainnya- hanya bias dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan meratapi perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali. Hal ini juga ditegaskan oleh hadits memberikankut ini.

- Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب الكبائر

“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, kalau dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233)

- Dibuka Pintu Surga, Dibuka pinta Rahmat, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين

”Jika tiba Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. Muslim No. 1079)

Dalam hadits lain:

إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين

”Jika bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu rahmat, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dirantai.” (HR. Muslim No. 1079)

Demikianlah keutamaan bulan Ramadhan dan keutamaan ibadah di dalamnya, yang ditegaskan dalam Al Alquran dan hadits-hadits yang shahih. Sedangkan kisah dari lisan ke mulut, dari khathib ke khathib, dan dari buku ke buku, bahwa:

- Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya Ramadhan maka diharamkan masuk ke neraka.

- Tidurnya orang puasa ialah ibadah (Naumush Shaim ‘Ibadah)

- Sepuluh hari pertama Ramadhan ialah rahmat, yang kedua ialah maghfirah, dan yang ketiga ialah dijauhkan dari api neraka.

- Keutamaan tarawih malam pertama ialah begini, malam kedua ialah begitu ..dst.

Hadits-hadits ini ialah dhaif (lemah), bahkan ada yang munkar dan artifasial dan bohongan. Dan masih banyak hadits-hadits dhaif seputar bulan ampunan dan puasa yang beredar di masyakarat, dan ini hanyalah contoh.

Sedangkan, hadits-hadits yang menyebutkan:

- Bau lisan orang puasa ludang kecepeh Allah cintai dibanding minyak kesturi

- Barangsiapa yang berpuasa fi sabilillah maka akan dijauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan

- Setiap amal anak adam ialah untuk dirinya, kecuali puasa, dia ialah untukKU, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri

- Disediakan bagi orang puasa pintu nirwana berjulukan Ar Rayyan.

Hadits-hadits ini tiruananya ialah shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Tetapi, hadits-hadits ini tidak bicara wacana puasa Ramadhan secara khusus, melainkan juga bagi orang berpuasa walau pun di bulan lain secara umum.

Wallahu A’lam




[1] Sebagian imam sangat menguasai tafsir menyebutkan bahwa, aturan berperang pada bulan-bulan haram ialah dibolehkan, alasannya ayat ini telah mansukh (direvisi) secara aturan oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpainya ….”. Sementara, sangat menguasai tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat ini tidak mansukh, sehingga larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku kecuali darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir ludang kecepeh menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh (direvisi) hukumnya. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Imam Ibnu Rajab menyampaikan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram ialah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelaranagn hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)



[2] Kelemahan hadits ini, lantaran dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.

Imam Bukhari berkata wacana Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan wacana Ziyad an Numairi ia berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)

Imam Abu Daud berkata: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.”(Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 263)

Sedangkan wacana Ziyad An Numairi, berkata Imam Al Haitsami wacana Ziyad an Numairi: “Dia dha’if berdasarkan jumhur (mayoritas sangat menguasai hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah) )

Imam Ibnu Hibban menyampaikan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (pendapat). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata wacana dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)

Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536). Demikian

[3] Kitab tasawwuf yang ditulis oleh Syaikh Abu Thalib Muhammad bin Ali bin ‘Athiyah Al Haritsi Al Makki

[4] Kitab tasawwuf yang sangat dikenal yang ditulis oleh Imam Al Ghazali Ath Thusi

[5] Atsar Israiliyat ialah memberikanta atau riwayat yang berasal dari kisah-kisah orang Bani Israel yang menyusup ke dalam kitab-kitab dan keyakinan umat Islam. Statusnya, tidak bisa dijadikan hujjah (pendapat), walau mempunyai hikmah yang baik.
Advertisement

Iklan Sidebar